Login via

Menantu Dewa Obat novel Chapter 736

Summary for Bab 736: Menantu Dewa Obat

Bab 736 – A Turning Point in Menantu Dewa Obat by Free novel

In this chapter of Menantu Dewa Obat, Free novel introduces major changes to the story. Bab 736 shifts the narrative tone, revealing secrets, advancing character arcs, and increasing stakes within the Romance genre.

Bab 736

Anissa menatapnya dengan terkejut: “Spencer, kenapa kau malah datang ke sini?”

“Bukannya CEO sedang mengajakmu untuk pergi makan malam?”

Pria ini adalah Spencer Sumarno, suaminya Anissa.

Baru saja dia hendak berbicara ketika uba – tiba dia melihat Nara dan tampak ada sedikit rasa keterkejutan di matanya.

Namun dengan cepat dia tampak tenang kembali lalu sambil tersenyum berkata, “Aduhh, itu karena ada sesuatu yang tak beres di tempatnya nona Lucy.”

“Seperti yang kalian tahu, baru – bari ini kita baru saja menandatangani proyek kerjasama yang cukup besar dengan PT Smith yang ada di Jakarta.”

“Nona Lucy sudah membuat janji dengan CEO dari PT Smith yaitu nona Anya Smith untuk membahas masalah kerjasama.”

“Aku belum bergabung dengan mereka jadi merasa tidak terlalu nyaman untuk ikut hadir dalam pertemuan itu sekarang sehingga lebih baik aku datang ke sini dulu.”

Vivi terkejut: “Benarkah?”

“Pa, bukannya waktu lalu kau bilang bahwa sulit untuk membuat janji dengan si Anya ini?”

“Meskipun CEO kami yang datang sendiripun belum tentu bisa bertemu dengannya. Bagaimana caranya nona Lucy berhasil membuat janji dengannya?”

“Apa jangan – jangan kerjasama ini akan langsung disetujui?”

Spencer tersenyum dan mengangguk: “Aku rasa, nona Anya pasti telah melihat ketulusan kita.”-Barusan aku juga mendapat kabar bahwa nona Anya juga akan datang ke sini untuk makan sehingga nona Lucy datang untuk menunggunya.”

Vivi sangat gembira sekali: “Bagus sekali!”

“Kalau proyek ini berhasil dinegosiasikan maka, Pa, kau sudah bisa menjadi CEO dari perusahaan Peaceful ini di Jakarta.”

Saat berbicara dia melirik semua orang yang ada di keluarga Shu dengan bangga Ekspresi wajahnya tampak jelas bahwa dia sedang membual dengan sangat hebat.

Hana merasa jijik lalu bergumam dengan suara rendah. “Apa susah membuat janji dengan Anya?”

“Satu panggilan telepon dari Reva saja, dia sudah akan langsung datang. Apanya yang mau dibanggakan!”

Tidak ada yang mendengar ucapan Hana.

Spencer mengibaskan tangannya sambil tersenyuin, “Aihh, ini hanya posisi rendah saja, sama

sekali udak layak untuk disebut.”

“Avo, mari, mau duduk, mari duduk.”

“Kita semua sama-sama keluarga sendiri. Silahkan minum sampai puas untuk hari ini!”

Dia berjalan ke sisi yang berlawanan untuk duduk tetapi matanya selalu mengawasi Nara untuk beberapa kali.

Di dalam matanya tampak ada hasrat yang tak terlukiskan.

Anissa sama sekali tidak memperhatikan keanehan suaminya. Sambil tersenyum dia berkata, “Spencer, nanu kalau ada waktu, kau harus pergi jalan – jalan.”

“Negara asing dan domestik itu benar- benar dua dunia yang berbeda.”

“Biar aku beritahu kepadamu yah, begitu aku turun dari dalam pesawatnya, hampir saja aku mati lemas.”

“Kualitas udara di tanah air kita ini benar – benar tidak bagus.”

“Ditempat aku unggal itu bahkan masih terasa aroma manis di udara.”

“Waktu pertama kali pergi ke sana, aku pikir aku tidak akan bisa terbiasa.”

“Tetapi coba kalian tebak apa yang terjadi? Aku langsung jatuh cinta pada tempat itu di hari pertama aku sampai di sana!”

“Aihh, ini benar- benar tidak bisa dibandingkan.”

“Negara ini terlalu miskin dan terbelakang. Kalau dibandingkan dengan negara asing, itu benar benar terlihat seperti dua dunia yang berbeda!”

Alina tersenyum dengan canggung, “Tidak bisa dikatakan seperti itu juga.”

“Dalam beberapa tahun terakhir ini, negara kita juga sudah berkembang dengan sangat baik.”

“Setelah berada di luar negeri selama bertahun – tahun, kau pasti jarang makan makanan dari kampung halaman, kan?”

“Kau pasti sudah kangen dengan masakan kampung halaman-mu, kan?”

“Ayo, pesan saja apa yang kau inginkan?”

Anissa mengambil buku menunya sambil tersenyum, “Sebenarnya aku sama sekali tidak terlalu kangen dengan masakan kampung halamanku.”

“Kau juga tahu, selama di luar negeri kami selalu makan steak dan anggur merah.”

“Aku benar-benar tidak ingin makan acar seperti di rumah pada waktu lalu.”

“Ayo, Jay, Vivi, coba kalian lihat apa yang kalian inginkan?”

Sambil memainkan ponselnya Jay berkata, “Pesankan aku steak saja!”

Vivi juga tidak mau mengambil buku menunya, dengan cemberut dia berkata, “Steak apa?”

Salt, megekagni a helyre, man

“Memangnya kau pikir ini sama dengan negaramu? Masih bilang mau makan steak lagi?”

“Mama kan sudah bilang bahwa disini hanya bisa makan daging kalau sedang tahun baruan.”

“Dan juga, di internet banyak yang bilang bahwa saking miskinnya orang – orang sini, mereka bahkan tak mampu untuk membeli telur yang direbus dengan teh.”

“Kau masih bilang mau steak. Apa kau tidak mempertimbangkannya dulu? Kira – kira keluarga tante keduamu mampu untuk membelinya ngga?”

Jay langsung kesal: “Kalau begitu aku harus makan apa?”

“Aku ga mau tahu. Aku ngga akan mau makan sayuran dengan daun busuk itu!”

“Aku hanya ingin makan steak!”

“Kalau udak mampu untuk makan steak lalu untuk apa bilang mau menjamu tamu?”

Reading History

No history.

Comments

The readers' comments on the novel: Menantu Dewa Obat