Login via

Menantu Dewa Obat novel Chapter 788

Summary for Bab 788: Menantu Dewa Obat

Summary of Bab 788 from Menantu Dewa Obat

Bab 788 marks a crucial moment in Free novel’s Romance novel, Menantu Dewa Obat. This chapter blends tension, emotion, and plot progression to deliver a memorable reading experience — one that keeps readers eagerly turning the page.

Menantu Dewa Obat

Bab 788

Axel tercengang.

Dia sendiri sudah cukup tidak ada aturan kalau berbicara namun tak disangka ternyata ada orang yang lebih tidak ada aturan lagi dibandingkan dirinya.

“Spencer, kau… kau jangan keterlaluan!”

“Mobil itu dikemudikan oleh putramu dan kecelakaan itu terjadi juga karena ulah putramu sendiri.”

“Atas dasar apa kau meminta keluargaku yang bertanggung jawab?” ujar Axel dengan marah.

Dengan dingin Spencer berkata: “Atas dasar kau meminjamkan mobil ini kepada puttaku!”

“Kau sudah tahu bahwa dia tidak punya SIM dan kamu masih meminjamkan mobil itu kepadanya. Kau memang sengaja ingin menyakitinya!”

“Meski masalah ini diproses hingga ke pengadilan sekalipun tetap saja itu salahmu karena kau telah meminjamkan mobil ini kepada seseorang yang tak punya SIM!”

Axel gemetar karena marah. Dia meraih cangkir teh di atas meja dan membantingnya ke lantai. “Persetan, apa maksudmu sekarang? Berani – beraninya datang ke rumahku dan berbicara dengan tanpa aturan!”

Spencer sama sekali tidak mau mengalah. Dia bangkit berdiri: “Apa? Kau ingin bersikap kasar sekarang?”

“Biar aku beritahu yah, kalau sampai terjadi sesuatu dengan putraku, entah dia masuk penjara atau masalah lainnya, aku pasti akan membuat perhitungan denganmu!”

Alina buru buru berkata: “Aduhh, kalian ini jangan bertengkar dulu.”

“Sekarang yang harus kita pikirkan itu bagaimana cara menangani masalah ini. Untuk apa sesama keluarga kita bertengkar? Kalau sampai ketahuan orang luar bukannya akan malu-maluin?”

Axel sangat marah: “Diam kau!”

“Kalau bukan gara ·

gara kau yang bersikeras ingin meminjamkan mobil itu kepada manusia sampah itu, apa mungkin akan terjadi hal seperti ini sekarang?”

“Semua ini gara-gara kau. Kau sendiri yang selesaikan semuanya!”

Setelah selesai berbicara lalu Axel pergi dengan marah.

Spencer berteriak dengan marah dari belakang: “Siapa yang kau sebut dengan manusia sampah?”

“Kalau berani kau katakan sekali lagi!”

Anissa buru-buru meraihnya: “Aduhh, sudah, sudah, jangan emosi dan bertengkar lagi, oke?”

“Ayo, mari, mari duduk dulu. Kita bicarakan baik

baik bagaimana menyelesaikan masalah ini!”

Dengan marah Spencer duduk. Alina menyeka air matanya: “Aku… aku juga tidak tahu akan menjadi sepertiini.”

“Waktu itu Jay yang bilang sendiri bahwa dia akan membiarkan pacarnya yang mengemudikan mobilnya, oleh karena itu aku setuju untuk meminjamkan mobil itu kepadanya.”

“Siapa yang bisa tahu akan menjadi seperti ini?”

Dengan marah Spencer berkata: “Memangnya kau tidak tahu kalau anak-anak tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.”

Reva juga langsung membalasnya: “Kau juga tahu bahwa dia sudah berusia dua puluh tahun!”

“Dua puluh tahun masih dibilang anak anak?”

“Apa otakmu sudah dimakan kucing?”

“Mereka semua sudah dewasa. Mengapa kau masih bilang bahwa mereka tidak punya kendali diri?”

“Apa dia adalah anak yang menderita demensia?”

Spencer yang dimarahi itu membuat Axel menjulurkan kepalanya dari dalam kamar: “Reva, bagus sekali ucapanmu!”

“Kerja bagus!”

“Hahaha, anak yang menderita demensia. Sangat menarik…”

Axel menatap Reva dengan tatapan kagum. Dia tidak pernah merasa bahwa Reva sebegitu gantengnya selama ini.

Spencer sangat marah: “Reva, apa maksudmu?”

“Meski putraku sudah berusia dua puluh tahun tetapi tetap saja dia masih merupakan anak-anak kalau dibandingkan dengan kalian.”

“Bagai… bagaimana kau bisa mengatakannya seperti itu?”

“Dan juga, apa seperti ini sikapmu terhadap orang yang lebih tua?”

Dengan perlahan Reva berkata, “Kami hanya memperlakukan kalian seperti bagaimana kalian memperlakukan kami saja, apa tidak benar?”

Axel langsung bertepuk tangan: “Aku rasa itu sangat benar!”

Reading History

No history.

Comments

The readers' comments on the novel: Menantu Dewa Obat